1 Norma hukum Islam harus diterima terlebih dahulu oleh hukum kebiasaan (adat masyarakat setempat) 2. Hukum Islam itu tidak boleh bertentangan ataupun tidak boleh telah ditentukan lain oleh ketentuan perundang-undangan Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka berdasarkan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 serta Pembukaan 4 Pertanyaan: Kapan Risalah Aswaja Mbah Hasyim Asyari terbit? Jawaban: Dalam kitab ini, pada naskah awalnya memang tidak tercatat tahun kepenulisannya. Namun, pada halaman sembilan kitab tersebut, Mbah Hasyim menuliskan bahwa "telah muncul banyak sekali paham keagamaan yang bermacam-macam pada tahun 1330 Hijriah". Contohsoal sejarah kelas 11 tentang voc. Karena biasanya soal ips kelas 10 sma semester 2 yang akan diujikan tidak jauh berbeda dengan soal tahun sebelumnya. Contoh soal pg dan jawaban sejarah kelas xi semester 2 bagian pertama oke berikut ini soal essay dan jawaban kewarganegaraan pkn berisikan tentang kekuasaan kolonialisme barat di indonesia. Sejakawal pesatnya perkembangan Islam dan perlembagaannya pada abad ke-13-15 M, komunitas-komunitas Islam yang awal telah mengenal tasawuf sebagai bangunan spiritualitas Islam yang kaya dengan kearifan dan amalan-amalan yang dapat menuntun para penuntut ilmu suluk menuju pemahaman yang mendalam tentang tauhid. Sedangkan ahlinya yang dikenal sebagai sufi tak jarang dikenal sebagai wali, guru kerohanian, pemimpin organisasi tarekat, pendakwah dan darwish atau fakir yang suka mengembara sambil Vay Tiền Nhanh Chỉ Cần Cmnd. Penyebaran syiar Islam di Nusantara terjadi secara bertahap setidaknya sejak abad ke-13 M. Proses itu pun cenderung berbeda-beda di tiap wilayah Indonesia. Pada faktanya, setiap pulau memiliki tokoh-tokoh mubaligh serta kekhasan dakwah masing-masing. Sebagai contoh, di Jawa terdapat Wali Songo yang tidak hanya aktif menyampaikan risalah Islam, tetapi juga sebagian di antaranya terlihat dalam pemerintahan. Bagaimanapun, kemajemukan proses itu memiliki corak yang sama. Misalnya, penerimaan masyarakat setempat pada ajaran-ajaran tasawuf. Sejauh ini, ada cukup banyak penelitian tentang masuk dan tersebarnya ajaran-ajaran sufi di Nusantara. Salah satu akademisi yang turut menelaah hal tersebut ialah M Solihin. Guru besar ilmu tasawuf dari Universitas Islam Negeri UIN Sunan Gunung Djati itu menuangkan hasil risetnya dalam sebuah karya bertajuk Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara. Menurut dia, diskusi mengenai sejarah tasawuf di Indonesia penting dikaji. Sebab, peran diskursus itu sangat signifikan dalam syiar Islam secara keseluruhan di negeri ini. Buku itu terdiri atas enam bab. Pada bagian pertama, Solihin mengulas sejarah dan pemikiran tasawuf di Aceh. Ia memulai pembahasan dengan topik sejarah masuknya Islam di Bumi Serambi Makkah. Selanjutnya, perihal pendekatan sufistik dalam syiar agama tauhid di sana. Ada beberapa tokoh sufi Aceh yang dibicarakannya. Di antaranya ialah Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, serta Abdurrauf as-Sinkili. Bab kedua membicarakan sejarah dan dialektika tasawuf di Sumatra Barat. Ada tiga tokoh yang dibahas dalam bagian ini. Mereka adalah Syekh Burhanuddin Ulakkan, Syekh Ismail bin Abdullah al-Khalidi, dan Syekh Muhammad Jamil Jambek. Bab keempat berlanjut pada Sumatra Selatan. Ada lebih banyak sufi yang dibahas dalam bagian ini. Di antaranya ialah Muhammad Ma’ruf bin Abdallah, Shihabuddin bin Abdallah Muhammad, serta Abdul Shamad al-Palimbani. Bab kelima tampil lebih tebal daripada yang lainnya dalam buku karya Solihin ini. Penulisnya pertama-tama menyuguhkan narasi tentang awal mula syiar Islam di Tanah Jawa. Selanjutnya, pembahasan berkaitan dengan peran dan pemikiran Wali Songo. Ada beberapa tokoh lainnya yang turut dibicarakan. Misalnya, Syekh Siti Jenar, Ronggowarsito, dan Haji Hasan Mustapa. Yang terasa cukup unik pada bagian ini, profesor ilmu tasawuf itu juga menyertakan profil Abah Sepuh dan Abah Anom dari Pesantren Suryalaya. Setidaknya hingga zaman Orde Baru atau Reformasi, pengaruh keduanya masih terasa bagi sebagian masyarakat, khususnya warga Jawa Barat. Pada bab terakhir, penulis memaparkan sejarah dan pemikiran tasawuf di Sulawesi. Ia membuka paparannya dengan narasi tentang histori Kesultanan Buton. Kerajaan Islam ini dinilai berperan besar dalam menumbuhkan diseminasi ajaran tasawuf. Pemikiran tokoh Mungkin, alasan bahwa topik sejarah Aceh ditempatkan pada posisi pertama dalam buku ini tidak sekadar faktor geografis. Daerah tersebut memang wilayah paling barat di Indonesia. Namun, peran Tanah Rencong sejatinya sangat besar dalam penyebaran syiar Islam di Nusantara. Menurut Solihin, Aceh berposisi penting dalam konteks sejarah tasawuf di Indonesia. Pertama-tama, kultur masyarakat setempat tidak dapat dipisahkan dari setting Islam. Bahkan, agama tersebut merupakan identitas mereka. Maka, wajarlah kiranya bila Aceh memunculkan banyak sufi yang berpengaruh besar. Sebut saja, Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, serta Abdurrauf as-Sinkili. Masing-masing mereka mengusung ide-ide yang kontemplatif terkait tasawuf. Sebagai contoh, Abdurrauf as-Sinkili. Solihin mengatakan, tokoh tersebut berupaya melakukan “rekonsiliasi” antara tasawuf dan syariat. Kendati demikian, ajaran tasawuf as-Sinkili dalam beberapa hal mirip dengan Syamsuddin as-Sumatrani dan Nuruddin al-Raniri. Misalnya, paham bahwa satu-satunya wujud hakiki ialah Allah SWT. Adapun alam ciptaan-Nya bukanlah wujud hakiki, melainkan hanya bayangan dari yang hakiki. Menurut al-Singkili, jelaslah bahwa Allah berbeda dengan alam. Walaupun demikian, antara bayangan alam dan yang memancarkan bayangan Allah tentu memperoleh keserupaan. Maka, sifat-sifat manusia adalah bayangan-bayangan Allah. Contohnya, sifat yang hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah. Selain itu, as-Sinkili juga mengusung pemikiran tentang zikir. Dalam pandangannya, zikir adalah suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Ajaran tasawufnya juga bertalian dengan martabat perwujudan, yang dijelaskan secara lebih rinci dalam buku ini. Pada bab-bab selanjutnya, penulis kemudian mengupas tentang sejarah dan pemikiran tasawuf di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi, dan Kalimantan. Sedangkan untuk pembahasan tentang pemikiran tasawuf di Pulau Jawa sendiri dibahas di dalam bab kelima. Pemikiran tasawuf di Pulau Jawa menjadi pembahasan yang menarik dalam buku ini. Tentunya, Wali Songo menjadi figur yang banyak dibahas. Solihin menuturkan, proses Islamisasi yang dilakukan para sembilan ulama itu berlangsung pada abad ke-15. Masa itu bertepatan dengan era Kesultanan Demak. Yang disebut sebagai wali sembilan itu ialah Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Metode dakwah mereka ialah menanamkan nilai-nilai ajaran Islam melalui keteladanan yang baik. Dengan demikian, dakwah tidak sekadar ucapan, melainkan juga tindakan dan laku hidup. Karena itu, para sejarawan menilai, kesembilan wali itu mensyiarkan Islam di Indonesia dengan cara yang tidak konfrontatif terhadap budaya lokal. Bahkan, beberapa ekspresi kultural masyarakat diadopsi sebagai medium dakwah yang efektif. Solihin mengungkapkan, para Wali Songo tidak meninggalkan karya-karya tulis, sebagaimana halnya para sufi di Sumatra. Bagaimanapun, legasi mereka tetap dapat dikaji. Hal itu tampak dari tulisan-tulisan para murid atau pengikutnya dalam pelbagai manuskrip berbahasa Jawa. Berdasarkan pemikiran dan praktik-praktik yang dijelaskan dalam buku ini, maka corak tasawuf yang dianut oleh para wali itu adalah tasawuf sunni. Menurut penulis, hal ini bisa dilihat pada kecenderungan mereka terhadap tokoh-tokoh dari pusat dunia Islam, seperti Imam al-Ghazali. Para wali kerap menjadikan karya-karya sang Hujjatul Islam sebagai bahan dakwah mereka. Solihin mengatakan, bukti nyata mengenai hal ini terdapat dalam menuskrip yang ditemukan Drewes. Naksah itu diperkirakan muncul pada masa transisi dari Hinduisme ke Islam. Di dalamnya, terdapat beberapa paragraf cuplikan dari kitab Bidayah al-Hidayah karangan Imam al-Ghazali. Di samping itu, juga tertulis informasi-informasi tentang ajaran Wali Songo yang sangat bertentangan dengan pemikiran pantheisme. Demikian juga tulisan generasi berikutnya yang meriwayatkan ajaran-ajaran Wali Songo. Mereka justru menghindarkan diri dari tulisan-tulisan Ibnu Arabi, seperti Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam. Di bagian akhir buku ini, Solihin menyimpulkan bahwa tasawuf yang singgah pertama kali di Aceh memiliki corak falsafi. Tasawuf falasafi ini begitu kuat tersebar dan dianut oleh sebagaian masyarakat Aceh, dengan tokoh-tokoh utamanya adalah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Dua tokoh sufi-falsafi ini memiliki pengaruh cukup besar hingga tersebar ke daerah-daerah di Nusantara. Kehadiran tasawuf yang bercorak falsafi tersebut kemudian disusul oleh tasawuf yang bercorak Sunni. Kedatangan tasawuf Sunni menjadi semacam koreksi terhadap pemahaman tasawuf falsafi yang cenderung “manut” pada ajaran-ajaran Ibnu Arabi, al-Jilli, dan bahkan al-Hallaj. Dengan munculnya dua aliran tasawuf ini menunjukkan bahwa di Indonesia terjadi polemik yang tarik menarik antar keduanya. Masing-masing corak tasawuf mempunyai argumen-argumen yang menguatkan masing-masing aliran tasawuf tersebut. Namun, pada akhirnya yang menjadi dominan di Nusantara hingga kini adalah tasawuf Sunni. Buku ini menyuguhkan pemikiran-pemikiran tasawuf dari para tokoh sufi di Nusantara. Kendati demikian, sebenarnya masih banyak tokoh sufi Nusantara lainnya yang masih belum terekam dalam Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara. Karena itu, kiranya para pembaca masih membutuhkan kajian lanjutan dari sumber-sumber lainnya. Karya Solihin ini memuat pokok bahasan yang mencakup biografi para ulama sufi di Nusantara dan karya penting mereka di bidang tasawuf. Karena itu, buku ini tidak hanya dapat dipelajari oleh kalangan mahasiswa dan akademisi, tetapi juga siapapun yang tertarik pada diskursus sufi. DATA BUKU JUDUL Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara Penulis M Solihin Penerbit Rajagrafindo Persada Tebal 349 halaman SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF DI INDONESIA DAN TOKOHNYA Makalah Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf yang diampu oleh Bapak Wardi Disusun oleh Dwi Fitriyanti 20170703032055 Nur Aisyah 20170703032140 Nurul Fadilah 20170703032143 Yulinar CT 20170703032161 Shinta Dwinur Sutansyah 20170703032168 PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN 2017 Kata Pengantar Pertama-tama perkenankanlah kami selaku penyusun makalah ini mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan judul “Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indoesia dan Tokohnya ”. Ucapan terima kasih dan puji syukur kami sampaikan kepada Allah dan semua pihak yang telah membantu kelancaran, memberikan masukan serta ide-ide untuk menyusun makalah ini. Kami selaku penyusun telah berusaha sebaik mungkin untuk menyempurnakan makalah ini, namun tidak mustahil apabila terdapat kekurangan maupun kesalahan. Oleh karena itu kami memohon saran serta komentar yang dapat kami jadikan motivasi untuk menyempurnakan pedoman dimasa yang akan datang. Pamekasan, 30 Novenber 2017 penulis Daftar Isi DaftarIsi.................................................................................................................... BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………………… a. Latar belakang ………………………………………………………… b. Rumusan masalah……………………………………………………… c. Tujuan masalah………………………………………………………... BAB 2 PEMBAHASAN …………………………………………………………. a. Sejarah Tasawuf di Indonesia ……………………………………........ b. Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia …………………………………... BAB 3 PENUTUP ……………………………………………………………….. a. Kesimpulan …………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. BAB 1 Latar Belakang Penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di indonesia berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf adalah kenyataan yang diakui oleh hampir mayoritas sejarawan dan peneliti. Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Terdapat kesepakatan dikalangan sejarawan dan peneliti, orientalis, dan cendikiawan Indonesia bahwa tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian sejarah tasawuf di Indonesia? 2. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia dan ajarannya? Jelaskan! C. Tujuan Masalah 1. Untuk mengetahui sejarah tasawuf di Indonesia 2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah tasawuf di Indonesia Perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi dikawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf merupakan unsur yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu.[1] Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan Pasai menjadi titik sentral penyiaran agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara Pulau Jawa. Islam tersebar di tanah Minangkabau atas upaya Syekh Burhanuddin Ulakan Syekh Tarekat Syattariyah. Sampai sekarang, kebesaran nama Syekh dari Ulakan tetap diabadikan masyarakat pesisir Minangkabau melalui upacara “basapa” pada setiap bulan Safar. Penyebaran Islam ke Pulau Jawa, juga berasal dari kerajaan Pasai, terutama atas jasa Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak, dan Ibrahim Asmuro.[2] Perkembangan Islam di tanah Jawa selanjutnya digerakkan oleh Wali Songo atau Wali Sembilan. Sebutan ini sudah cukup menunjukkan bahwa mereka adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai derajat “wali”. Para wali bukan saja berperan sebagai penyiar Islam, melainkan mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan. Karena posisi itu, mereka mendapat gelarSusuhunan yang biasa disebut Sunan. Dari peranan politik itu, mereka dapat “meminjam” kekuasaan sultan dan kelompok elite keraton dalam menyebarkan dan memantapkan penghayatan Islam sesuai dengan keyakinan sufisme yang mereka anut. Warna sufisme yang kental juga terlihat dari nilai anutan mereka yang didominasi sufisme aliran al-Ghazali. Buku-buku karangan al-Ghazali menjadi sumber bacaan sufisme yang paling digemari dan pada umumnya memuat pokok bahasan tasawuf akhlak dan tasawuf amali. Pengaruh tasawuf falsafi cukup kuat dan luas penganutnya dikalangan penganut tarekat. Sedangkan tokohnya yang paling populer pada masa itu adalah Syekh Siti Jenar. Semenjak penyiaran Islam di Jawa diambil alih oleh kerabat elite keraton, secara perlahan-lahan terjadi proses akulturasi sufisme dengan kepercayaan lama dan tradisi lokal, yang berakibat bergesernya nilai keislaman sufisme karena tergantikan oleh model spiritualis nonreligius.[3] B. Tokoh-Tokoh Tasawuf di Indonesia Ada banyak sekali tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia. Ada beberapa lima tokoh yang paling dikenal, diantaranya adalah 1. Hamzah Al-Fansuri Hampir semua penulis sejarah islam mencatat bahwa Syekh Hamzah al-Fansuri dan muridnya Syekh Syamsuddin as-Sumatrani termasuk tokoh sufi yang sepaham dengan al-Hallaj. Syekh Hamzah al-Fansuri diakui sebagai salah seorang pujangga Islam yang sangat populer pada zamannya. Namanya tercatat sebagai seorang kaliber besar dalam perkembangan Islam di Nusantara dari abadnya hingga ke abad kini.[4] Beliau adalah seorang ulama’ yang cerdas dan menguasai dengan baik bahasa Arab, Persi, Jawa, Melayu, Aceh, Siam dan Urdu. Beliau banyak melakukan pengembaraan ke berbagai Negara dan tempat di kepulauan Nusantara, Semenanjung Melayu, Siam, India, Persia dan Arab. Menurut para ahli, beliau adalah sebagai perintis bahasa Melayu dalam bidang sastra tulis. Melalui beliau inilah bahasa Melayu terangkat tinggi sehingga disebut sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu. Beliau juga adalah orang yang pertama kali menciptakan syair dan pantun.[5] Syekh Hamzah Fansuri adalah penganut faham Wahdatul Wujud. Faham Wahdatul Wujud inilah yang mengakibatkan beliau dan muridnya, Syekh Syamsuddin Sumatrani mendapatkan tantangan keras dari ulama’-ulama’ syari’at, terutama oleh Syekh Nuruddin ar Raniri karena menganut faham nilai beliau dicap sebagai orang yang zindiq, sesat, kafir, dan sebagainya. Selain menganut faham Wahdatul Wujud, ijttihad dan hulul dalam bidang tashawwuf, beliaupun dikatakan juga sebagai penganut syi’ah dalam aqidah. Syekh Hamzah Fansuri sangat giat dalam menyebarkan dan mengembangkan thariqat ke berbagai negeri. Beliau pernah sampai ke berbagai negeri di Timur Tengah utamanya Mekkah dan Madinah. Begitu pula dengan negeri-negeri di Nusantara pernah dijelajahi, seperti Pahang, Kedah, Banten, Jawa dan sebagainya. Bahkan ada yang mengatakan pernah sampai ke seluruh Semenanjung dan memperkembangkan tashawwuf itu di negeri Perak, Perlis, Kelantan, Trengganu dan lain-lain.[6] Disamping giat menyebarkan tashawwuf ke berbagai pelosok negeri, beliaupun giat menulis baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Pengaruh dari karya Syekh Hamzah Fansuri memang luar biasa besarnya. Karena itu, karya-karya beliau baik yang berbentuk puisi maupun prosa banyak mendapat perhatian para sarjana maupun orentalis barat. Demikian perjuangan Syekh Hamzah Fansuri dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan faham yang diyakininya di tengah-tengah masyarakat sampai akhir hayatnya. Dan hingga sekarang kuburnya tidak diketahui.[7] 2. Syamsuddin Al-Sumatrani Syamsuddin Sumatrani adalah putra seorang ulama Aceh terkenal yang bernama Syekh Abdullah as Sumatrani.[8] Pemikiran tasawufnya Syamsuddin al-Sumatrani membahas tentang martabat tujuh dan dua puluh sifat Tuhan. Konsep martabat tujuh ini pertama kali dicetuskan oleh Muhammad Ibn Fadlullah al-Burhanpuri seorang ulama kelahiran India.[9] Beliau mendapatkan pendidikan dari tokoh shufi pada masa itu, yaitu Syekh Hamzah Fansuri di Aceh dan kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Pulau Jawa dimana pada saat itu agama Islam sudah berkembang pesat berkat perjuangan gigih dari para Walisongo. Syamsuddin Sumatrani sangat giat mempelajari ilmu keislaman terutama ilmu tashawwuf. Terbukti dari guru-guru yang beliau pilih adalah para tokoh ahli tashawwuf. Baik Syekh Hamzah Fansuri maupun Syekh Maulana Makdum Ibrahim adalah para ulama’ ahli tashawwuf yang cukup terkenal ketika itu. Meskipun keduanya berbeda aliran dalam tashawwufnya dan faham yang dianutnya.[10] Setelah beliau menamatkan pelajarannya dan kembali ke kampung halamannya Aceh, nampaknya beliau langsung mendapat tempat pada posisi yang terbaik di Kerajaan Aceh. Beliau di percaya memangku jabatan “Perdana Menteri” di Kerajaan Aceh. Disamping itu, beliau juga termasuk seorang pujangga Islam Indonesia yang kedua setelah Syekh Hamzah Fansuri. Disamping beliau disibukkan dalam kegiatan pemerintahan Kerajaan Aceh, beliau tetap giat menyebarkan dan mengembangkan tashawwuf dengan mengajar dan menulis. Tashawwuf yang diajarkan dan dikembangkan oleh Syekh Syamsuddin Sumatrani tidak berbeda dengan gurunya Syekh Hamzah Fansuri, yaitu faham Wahdatul Wujud, hulul, ittihad dan sebangsanya. Karena faham inilah beliau banyak mendapat kecaman dari berbagai kalangan.[11] Jumlah keseluruhan karya Syekh Syamsuddin Sumatrani keseluruhan yang diketahui ada 18 kitab. Dari karya-karya beliau ini Nampak sekali keluasan dan kedalaman ilmu beliau, sehingga beliau menjadi seorang ulama’ yang disegani baik lawan maupun kawan. Sewaktu beliau wafat pada tanggal 12 Rajab 1039 H / 1619 M. ada yang mengatakan beliau wafat tahun 1661 M. Syekh Nuruddin ar Raniri menulis pengakuan tentang kealiman beliau dalam kitabnya yang bernama Bustanus Salatin.[12] 3. Nuruddin Ar-Raniri Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat, India. Pendidikan pertamanya diperoleh di Ranir kemudian dilanjutkan ke wilayah Hadramaut. Menurut catatan Azyumardi Azra, ar-Raniri merupakan tokoh pembaruan di Aceh. Ia mulai melancarkan pembaruan Islamnya di Aceh setelah mendapat pijakan yang kuat di istana Aceh. Pembaruan utamanya adalah memberantas aliran Wujudiyyah yang dianggap sebagai aliran sesat. ar-Raniri dikenal pula sebagai seorang syekh Islam yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa menentang aliran Wujudiyyah ini.[13] Menurutnya, pendapat Hamzah al-Fansuri tentang Wahdat Al-Wujud dapat membawa pada kekafiran. Ar-Raniri berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia, dan jadilah seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk maupun baik, Allah SWT. turut serta melakukannya. Jika demikian halnya, manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan. Pemisahan antara syariat dan hakikat, menurut ar-Raniri, merupakan sesuatu yang tidak benar. Untuk menguatkan argumentasinya, ia mengajukan beberapa pendapat pemuka sufi, di antaranya adalah Syekh Abdullah al-Aidarusi yang menyatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah SWT., kecuali melalui syariat yang merupakan pokok dan cabang Islam.[14] Pendirian ar-Raniri dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan paham Mutakallimin dengan paham para sufi yang diwakili Ibnu Arabi. Pandangan ar-Raniri hampir sama dengan Ibnu Arabi bahwa alam ini merupakan tajalli Allah SWT. Akan tetapi, tafsirannya membuatnya terlepas dari label panteisme Ibnu Arabi. Ar-Raniri berpandangan bahwa alam ini diciptakan Allah SWT. melaluitajalli. Ia menolak teori al-faidh emanasi al-Farabi karena membawa pada pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga dapat jatuh pada kemusyrikan.[15] Gema pemikiran ar-Raniri sampai juga ke daerah Nusantara lainnya sehingga buku-bukunya banyak dipelajari orang. Pemikiran-pemikiran tasawuf Nuruddin ar-Raniri banyak diterima dan dipelajari oleh Sultan Iskandar Tsani sehingga kebijakan Nuruddin mengeluarkan fatwa “kufur” kepada wujudiyah ternyata didukung oleh sultan.[16] Pemikiran ar-Raniri tersebut ternyata berpengaruh besar ke seluruh Nusantara sehingga peranan Nuruddin ar-Raniri dalam perkembangan Islam di wilayah Melayu Indonesia. Kehadiran Nuruddin ar-Raniri harus diakui telah berhasil mematahkan pemikiran wujudiyah-nya Syamsuddin al-Sumatrani.[17] 4. Abdur Rauf as-Sinkili Syekh Abdur Rauf Bin Ali Fansuri adalah seorang penyebar pertama thariqat Syathariyah di Indonesia. Beliau adalah murid dari Syekh Shafiuddin Ahmad ad-Dajjani al-Qusysyi, seorang guru besar shufi di Mekkah dan juga murid dari Syekh Ibrahim Al Kurani, seorang guru besar di Madinah.[18] Sebelum as-Sinkili membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah berkembang ajaran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf Wujudiyyah yang kemudian dikenal dengan namaWahdat Al-Wujud. Ajaran tasawuf Wujudiyyah ini dianggapnya sebagai ajaran sesat dan penganutnya dianggap sudah murtad. as-Sinkili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Ajaran Tasawufnya sama dengan Syamsuddin dan Nuruddin, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yaitu Allah SWT., sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud hakiki, melainkan bayangan dari yang hakiki. Menurutnya, jelaslah bahwa Allah SWT. berbeda dengan alam. Walaupun demikian, antara bayangan alam dan yang memancarkan bayangan Allah tentu terdapat keserupaan. Sifat-sifat manusia adalah bayangan Allah SWT., seperti yang hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah SWT.[19] Ajaran tasawuf al-Sinkli yang lain adalah bertalian dengan martabat perwujudan. Syekh Abdul Rauf al-Sinkili, dalam segi lain sering dipandang sebagai penganjur Tarekat syatariyat yang menilai banyak murid di Nusantara. Pemahaman Abdul Rauf terhadap konsep martabat tujuh terletak pada posisi Tuhan terhadap ciptaan-Nya. Ia lebih menekankan aspek imanensi yang menurut, sebagai paham kaum Wujudiyah.[20] Para penyebar thariqat Syathariyyah yang semuanya berpuncak pada Syekh Abdur Rauf Bin Ali Fansuri wafat boleh dikatakan tiada lagi generasi pelanjutnya. Namun thariqat ini pengaruhnya tetap ada hingga saat ini.[21] 5. Yusuf al-Makasari Syekh Yusuf al-Makasari adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal dari Sulawesi. Naluri fitrah pribadi Syekh Yusuf sejak kecil telah menampakkan bahwa ia cinta akan pengetahuan keislaman. Dalam tempo relatif singkat, ia tamat mempelajari al-Qur’an 30 juz.[22] Pada masa Syekh Yusuf, memang hampir setiap orang lebih menggemari ilmu tasawuf. Syekh Yusuf pernah melakukan perjalanan ke Yaman. Di Yaman, ia menerima tarekat dari syekhnya yang terkenal, yaitu Syekh Abi Abdullah Muhammad Baqi Billah. Semua tarekat yang telah dipelajari Syekh Yusuf mempunyai silsilah yang bersambung hingga kepada Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, semua silsilah itu belum ditemukan, kecuali silsilah Naqsabandiyah yang terdapat pada salah satu tulisan tangannya.[23] Syekh Yusuf mengungkapkan paradigma sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir syariat dan aspek batin hakikat. Syariat dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai satu kesatuan. Syekh Yusuf menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dengan Tuhan.[24] Kalau ajaran Abdul Rauf singkat ialah boleh dikatakan tidak mempunyai paham atau ajaran yang tersendiri. Dalam masalah keagamaan, beliau mengikuti paham Ahlussunnah Waljama’ah dan khusus dalam bidang fikih beliau adalah pengikut syafi’iyah, sedangkan dalam tasawuf mengikuti thariqat syattariyah dan paham-paham ini pulalah yang ia sebarkan dalam semua kegiatan dakwahnya.[25] Meskipun berpegang teguh pada transedensi Tuhan, ia meyakini bahwa Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu. Mengenai hal ini,Syekh Yusuf mengembangkan istilah ihathahpeliputan dan al-ma’iyyahkesertaan. Kedua istilah itu menjelaskan bahwa Tuhan turun tanazul, sementara manusia naik taraqi, suatu proses spiritual yang membawa keduanya semakin dekat. Syekh Yusuf menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dan Tuhan. Syekh Yusuf berbicara pula tentang insan kamil dan proses penyucian jiwa. Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun turun pada diri hamba. Menurutnya, kehidupan dunia bukanlah untuk ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan.[26] BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi dikawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf merupakan unsur yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu. Perkembangan Islam di tanah Jawa selanjutnya digerakkan oleh Wali Songo atau Wali Sembilan. Para wali bukan saja berperan sebagai penyiar Islam, melainkan mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan. 2. Tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia a. Hamzah Al-Fansuri Menurut para ahli, beliau adalah sebagai perintis bahasa Melayu dalam bidang sastra tulis. Melalui beliau inilah bahasa Melayu terangkat tinggi sehingga disebut sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu. Beliau juga adalah orang yang pertama kali menciptakan syair dan pantun. b. Syamsuddin al-Sumatrani Jumlah keseluruhan karya Syekh Syamsuddin Sumatrani keseluruhan yang diketahui ada 18 kitab. Dari karya-karya beliau ini nampak sekali keluasan dan kedalaman ilmu beliau, sehingga beliau menjadi seorang ulama’ yang disegani baik lawan maupun kawan. c. Nuruddin ar-Raniri Ar-Raniri dikenal pula sebagai seorang syekh Islam yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa menentang aliran Wujudiyyah ini. Ar-Raniri berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia, dan jadilah seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk maupun baik, Allah SWT. turut serta melakukannya. Jika demikian halnya, manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan. d. Abdur Rauf as-Sinkili As-Sinkili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Menurutnya, jelaslah bahwa Allah SWT. berbeda dengan alam. Walaupun demikian, antara bayangan alam dan yang memancarkan bayangan Allah tentu terdapat keserupaan. Sifat-sifat manusia adalah bayangan Allah SWT., seperti yang hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah SWT. e. Yusuf al-Makasari Syekh Yusuf mengungkapkan paradigma sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir syariat dan aspek batin hakikat. Syariat dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai satu kesatuan. Syekh Yusuf menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dengan Tuhan. DAFTAR PUSTAKA Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, Bandung Pustaka Setia,2010 Nasution Bangun, Ahmad dan Sinegar Hanum, Rayani, Akhlak Tasawuf, Jakarta RajaGrafindo Persada,2013 Asrifin, Tokoh-tokoh Shufi,Surabaya Karya Utama [1] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2010, hlm. 337. [5] Asrifin, Tokoh-Tokoh Shufi, Surabaya Karya Utama, hlm 256 [9] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, Jakarta RajaGrafindo Persada,2013, hlm. 65. [10] Asrifin,Tokoh-Tokoh Shufi, hlm. 256. [13] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 344. [16] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 65. [18] Asrifin, Tokoh-Tokoh Shufi, hlm. 263. [19] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 348. [20] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 67. [21] Asrifin, Tokoh-Tokoh Shufi, hlm. 264. [22] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 349. [24] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 68. [26] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 352.

pertanyaan tentang sejarah perkembangan tasawuf di indonesia